Pages

Selasa, 02 Oktober 2012

Kesaktian Pancasila tak terdengar lagi

... Ketuhanan Yang Maha Esa, telah digantikan dengan Keuangan Yang Maha Kuasa...
Akan tetapi, pada Hari Kesaktian Pancasila, Senin ini, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sayidiman Suryohadiprojo galau di muka podium ketika didaulat rekan-rekannya sesama purnawirawan perwira tinggi untuk bicara soal kesaktian Pancasila. Raut mukanya yang sepuh (kini 86 tahun) menampilkan kesedihan itu.

"Saya sedih, dalam perjalanan dari rumah ke Taman Mini tadi, tidak ada bendera sepenuh tiang berkibar di rumah-rumah dan gedung yang saya lewati. Itu pertanda Pancasila bukan saja telah dilupakan, tetapi juga telah dilecehkan," katanya, geram.

Para tokoh yang tergabung dalam Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP) itu antara lain mantan Wakil Presiden, Jenderal (Purnawirawan) Try Sutrisno, Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri, Saiful Sulun, dan mantan Menteri Dalam Negeri, Suryadi Sudirja.

Kesedihan yang sama juga disampaikan Sulun, yang jadi penyelenggara pertemuan yang mirip-mirip acara reuni itu. Menurut Saiful, dulu di zaman Orde Baru, Hari Kesaktian Pancasila diperingati secara nasional, tidak saja di Jakarta tetapi di seluruh daerah.


"Pancasila Sakti dulu bergema membahana," kenangnya akan masa-masa kejayaan rezim Soeharto.


Kini, kata Sulun, satu dua masih ada yang memperingati termasuk pemerintah, walau terkesan sekadar basa-basi.

"Kesaktian Pancasila tak terdengar lagi, bahkan Pancasila sudah dilupakan anak bangsa," katanya dengan suara yang masih terdengar lantang.

Mengapa para sesepuh bangsa itu masih memperingati Hari Kesaktian Pancasila padahal Pancasila sudah dilupakan dan tidak sakti lagi?


Dia mengatakan peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu tetap penting. Bukan untuk mendewa-dewakan Pancasila, tetapi untuk mengingatkan anak bangsa agar jangan melupakan dan meninggalkan Pancasila.


"Ingatlah bahwa sejarah telah membuktikan setiap kali bangsa ini lupa dan meninggalkan Pancasila negeri ini terguncang. Begitu pula setiap kali ada upaya untuk menyingkirkan atau mengganti Pancasila, rakyat menolak dan menentang," katanya.


Pancasila Masih Sakti


Tapi tidak semua peserta sarasehan setuju kalau Pancasila sudah menjadi sejarah dan mati. Harry Tjan Silalahi, salah satu pembicara, meyakini bahwa apapun yang terjadi Pancasila masih sakti.


Dia mengakui, kini dirasakan bangsa Indonesia masalah kekurangan tokoh. Banyak pemimpin partai maupun pemimpin pemerintahan, tetapi miskin ketokohan. Artinya, dirasakan kurang pribadi-pribadi yang berintegritas, tidak korup, memiliki kompetensi tertentu, dapat menjadi teladan secara moral maupun sosial, 0sehingga pantas disebut tokoh panutan.


"Justru rasa perasaan itu mendorong segenap eksponen bangsa untuk menziarahi kembali Pancasila sebagai cita-cita dan dasar serta raison d'etre keberadaan sebuah bangsa yang diberi nama bangsa Indonesia," kata pendiri CSIS, satu lembaga dapur pemikiran Orde Baru itu.


Ia sangat percaya nilai-nilai Pancasila yang dilihat sebagai keutuhan menjadi satu-satunya pedoman pada masa kini yang menjamin kebersamaan masyarakat Indonesia. Sekaligus juga menjadikan masyarakat memiliki pedoman untuk membina diri serta mencari bibit-bibit ketokohan yang ada dalam masyarakat. 

Tanpa pedoman ini bangsa Indonesia hanyalah menjadi kumpulan banyak suku bangsa yang rapuh tanpa pengikat kesatuannya.

Dia berargumen Pancasila masih sakti karena bukan hanya mempersatukan, tetapi menjadi memberi ruang bagi mimpi-mimpi sebagai bangsa. Pancasila menjadi perspektif dan optimisme bangsa sehingga mampu berdiri tegak memandang ke masa depan dengan aneka potensi yang dapat dipilih untuk diwujud-nyatakan baik sebagai individu maupun dalam kebersamaan dalam masyarakat.


Mantan Ketua PB NU, KH Hasyim Muzadi, juga menilai kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sudah makin menjauh dari nilai-nilai Pancasila. Korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, anarki, narkoba, terorisme adalah akibat dari pengabaian Pancasila sebagai nilai-nilai luruh bangsa.


"Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, telah digantikan dengan Keuangan Yang Maha Kuasa," kata mantan calon wakil presiden itu. Muzadi memberi contoh betapa uang dan sistim transaksional berlaku dalam pemilihan-pemilihan kepala daerah.


"Rakyat sudah faham betul apa itu serangan fajar, bahkan mereka sengaja menunggu kapan menjadi target serangan fajar itu," katanya, disambut tawa hadirin.


Politik uang, katanya, sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Untuk bisa mengatasinya, maka Pancasila harus digelorakan. Pancasila harus diwujudkan secara nyata, tidak bisa hanya dibicarakan. Tidak hanya sebagai slogan, tapi jadi kenyataan hidup.


"Kalau perlu dibentuk Front Penyelamat Pancasila," katanya disambut tepuk tangan hadirin.


Suryohadiprojo juga menyetujui gagasan menggelorakan kembali Pancasila itu. "Pemimpin nasional jangan hanya omong-omong saja soal Pancasila, tapi jadikanlah kenyataan yang hidup," katanya.


"Bukan cuma bicara-bicara, omong-omong, slogan-slogan," lanjut Sulun.


Sulun yang menutup acara saresehan sebagai Sekjen Gerakan Pemantapan Pancasila mengatakan bahwa negara yang didirikan oleh founding father itu adalah negara kebangsaan atas dasar Pancasila. Bukan atas dasar liberalisme, bukan komunisme, bukan pula atas dasar faham agama.


Bahwa sampai sat ini cita-cita merdeka belum terwujud, menurut Saiful, bukanlah salah Pancasila.


"Itu lebih dikarenakan oleh kesalahan kita sendiri terutama para pemimpin dan penyelenggara negara yang lupa bahkan khianat terhadap Pancasila," kata Sulun. (*)

0 komentar:

Posting Komentar