Pages

Selasa, 02 Oktober 2012

"Roh perajin" yang dihidupi candi Borobudur

....10 tahun terakhir saya menemukan diri bahwa roh hidup saya di kerajinan."
Magelang (ANTARA News) - Dua turis mancanegara secara tiba-tiba menghentikan laju sepeda kayuh yang dikendarai masing-masing di depan galeri kecil, tak jauh dari Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Pemandunya pun kemudian menjelaskan tentang berbagai barang kerajinan yang dipajang di galeri itu yang didominasi polesan motif batik oleh perajin yang juga pemilik galeri bernama "BW Craft Borobudur" di Dusun Bumisegoro, Desa Borobudur, sekitar 300 meter barat daya pagar Taman Wisata Candi Borobudur.

"Bu Menteri juga pernah datang ke sini, tidak `ngasih` bantuan apa-apa, tetapi membeli beberapa macam kerajinan yang disukainya di tempat saya ini," kata perajin dan sekaligus pemilik "BW Craft Borobudur" itu, Basiyo (51).

Bu Menteri yang dimaksudnya adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu. Menteri itu pada akhir 2011 berkunjung ke galerinya yang seluas 21 meter persegi di bagian depan rumahnya di dusun setempat, saat meninjau pelaksanaan Program "Tilik Desa" yang dikembangkan pengelola kepariwisataan Candi Borobudur, PT Taman Wisata Candi Borobudur, bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan sektor itu di kawasan setempat.

Sejumlah barang kerajinan yang dibeli Menteri Mari Pangestu dari galeri itu, kata Basiyo yang suami Saropah (40) dengan dikarunia empat anak dan tiga cucu tersebut, antara lain satu set wayang punakawan terbuat dari kayu dengan motif batik, tas terbuat dari kain perca motif batik, dan topeng kayu dengan motif batik.

Bukan secara tiba-tiba, kalau Basiyo membuka usaha galeri yang sekaligus juga perajin berbagai barang cendera mata di kawasan pariwisata Candi Borobudur itu.

Apalagi, lelaki yang asal usulnya dari Bantul, Yogyakarta dan sejak usia 15 tahun mengadu nasib dengan berjualan cendera mata kepada wisatawan Candi Borobudur itu hanya berlatar belakang pendidikan formal hingga kelas V di satu sekolah dasar di desanya.

"Memang simbah dan orang tua saya berdarah perajin, pembatik di Bantul sana. Saya dulu pengasong di Keraton Yogyakarta tetapi kemudian umur 15 tahun sudah sampai Candi Borobudur menjual hiasan satwa yang diawetkan, saya bikin sendiri, ketika itu saya tinggal di rumah orang di Gopalan (satu kampung di Desa Borobudur, red.)," katanya.

Ia menyatakan diri memiliki garis keturunan "roh perajin" dan hingga saat ini bersama lainnya memanfaatkan potensi wisata Candi Borobudur sebagai bagian dari pelaku kepariwisataan.

Kepiawaian Basiyo berolah kerajinan cendera mata terus diasah melalui berbagai kesempatan pelatihan dan pameran kerajinan yang diikutinya di berbagai tempat, selama bertahun-tahun dengan fasilitasi antara lain PT TWCB, Pemerintah Provinsi Jateng dan Pemerintah Kabupaten Magelang.

"Banyak pelatihan saya ikuti seperti tentang manajemen usaha kecil, akuntansi dasar, pembuatan proposal, pelatihan motivasi. Kalau pameran ada yang di Yogya itu sejak 2006 sampai tahun ini setiap tahun saya ikut dengan fasilitas dari TWCB, juga pameran di Pekan Raya Jakarta, dan di PRPP Semarang," katanya.

Selain itu, Basiyo hingga saat ini juga aktif di sejumlah organisasi pelaku wisata kawasan Candi Borobudur antara lain sebagai Wakil Ketua Forum Rembug Klaster Pariwisata Candi Borobudur, Ketua Paguyuban Pengrajin Bhumi Sambhara Borobudur, Ketua Rukun Tetangga Plasa Luar TWCB, dan anggota Tim Anti Kekerasan dan Kejahatan (Tanker) Candi Borobudur.

Produk kerajinannya hingga saat ini cukup beragam, menyesuaikan dengan pangsa pasar dan perkembangan kepariwisataan tak hanya di Candi Borobudur. Akan tetapi, Basiyo juga berjejaring dengan perajin produk cendera mata di daerah lainnya.

"Cendera mata kerajinan satwa yang diawetkan sudah lama tidak menarik lagi untuk pasar, sejak beberapa tahun terakhir saya fokus kepada produk kerajinan dengan motif batik," katanya.

Berbagai produk kerajinannya saat ini dengan mengutamakan sentuhan motif-motif batik, antara lain wayang Rama-Sinta berbahan kayu dengan harga eceran Rp125.000, tas ransel dan tas kendang dengan bahan baku kain perca, masing-masing seharga Rp50.000.

Topeng Rama-Sinta dari bahan kayu seharga Rp125.000, gantungan kunci berbentuk wayang punakawan dari bahan kayu seharga Rp8.000, karya punakawan dari bahan kayu dengan harga satu set (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) seharga Rp30.000, dan patung Roro Blonyo dari kayu seharga Rp185.000.

"Kalau untuk grosir tentunya harganya beda," kata Basiyo yang bahan baku produknya cendera mata selain dipasok dari beberapa tempat di kawasan Candi Borobudur juga dari sejumlah kota lainnya seperti Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan.

Ia juga mengaku memanfaatkan tawaran pinjaman modal usaha bernilai belasan juta hingga puluhan juta rupiah antara lain dari PT TWCB dan perbankan untuk mengembangkan usaha kerajinan cendera mata itu.

"Saya merasa termasuk rajin mengangsur pengembaliannya, kecuali saat Gunung Merapi meletus tahun 2010 yang berdampak terhadap wisata Candi Borobudur. Saya sempat tiga bulan tak mampu membayar angsuran, tetapi hal itu ternyata bisa dimaklumi dan toh akhirnya saya bisa melunasi dan mendapat pinjaman lagi," katanya.

Usaha kerajinan Basiyo nampak terus berkembang sehingga ia merekrut empat tetangganya untuk bekerja sebagai perajin dan pembatik produk kerajinannya dengan sistem borongan. Tiga mesin jahit, berbagai peralatan pertukangan, dan alat batik melengkapi usaha produksi kerajinan cendera mata di rumahnya.

Ia juga membawahi sekitar 15 pengasong dan enam pedagang lapak yang selalu memasarkan produk kerajinannya di kompleks TWCB. Ia juga memiliki satu lapak cendera mata di TWCB yang setiap hari dijaga isterinya.

Jaringan dengan para perajin di berbagai daerah dan objek wisata, dan bahkan hingga luar Pulau Jawa telah membuat usaha kerajinannya di sekitar Candi Borobudur terus hidup dan berkembang.

"Saat ini, saya merasakan bisa mengambil manfaat dari berbagai pameran dan pelatihan yang selama ini saya ikuti baik di Borobudur maupun di luar daerah. Dengan ikut pameran itu, bukan hanya memasarkan produk, tetapi saya menjadi punya banyak teman sesama perajin, bisa saling tukar barang untuk dijual di luar daerah," katanya.

Barang kerajinan yang dipajang di galerinya tidak hanya produknya, akan tetapi juga dipasok oleh perajin lain baik di sekitar Candi Borobudur maupun luar daerah seperti wayang kulit (Yogyakarta), patung Kepala Buddha dari bahan kuningan (Mojokerto), miniatur sepeda ontel dan becak (Juwono, Pati), cendera mata berbentuk kerajinan mahkota (Lampung), dan kentongan dari akar bambu (Magelang).

Pembeli barang kerajinannya pun bukan hanyak para wisatawan yang tertarik layanan Program "Tilik Desa" PT TWCB dan kemudian singgah di galerinya, tetapi juga masyarakat umum seperti mereka yang memiliki hajat perkawinan, maupun pesanan dari pelaku wisata di sejumlah objek lainnya di luar Candi Borobudur.

Setiap hari, rata-rata 5-10 wisatawan Candi Borobudur berkunjung ke galerinya baik memanfaatkan jasa dokar, sepeda ontel, maupun becak, sedangkan jika akhir pekan dan musim liburan seperti Lebaran, Tahun Baru, liburan sekolah, jumlah pengunjung galerinya baik wisatawan nusantara maupun domestik semakin meningkat.

"Belum lagi pesanan suvenir seperti untuk perkawinan dan keperluan lainnya. Kalau rata-rata omzet per bulan saat ini bisa Rp30 juta, keuntungan sekitar 10 persennya," katanya.

Ia mengaku bukan satu-satunya perajin dan sekaligus pengelola galeri kerajinan cendera mata di kawasan Candi Borobudur. Sejumlah nama perajin, produk khas cendera mata, dan lokasi usaha mereka di beberapa desa sekitar Candi Borobudur disebut Basiyo sebagai mitra antarpelaku kepariwisataan setempat.

Bahkan, ia mengharapkan warga dusunnya sendiri makin banyak yang kelak menjadi perajin cendera mata agar bisa saling melengkapi untuk memenuhi kepentingan pasar yang bukan hanya wisatawan Candi Borobudur tetapi juga sasaran pemasaran yang lebih luas dan beragam.

"`Nek jenenge regeng niku mboten namung setunggal tiyang, ning lak nggih kathah tiyang to`," katanya dalam Bahasa Jawa yang kira-kira artinya kalau yang namanya ramai itu tentu bukan oleh satu orang tetapi melibatkan banyak orang.

Ia menyatakan tidak setiap orang mampu berproses menjadikan diri perajin dengan jiwa wirausaha yang tahan banting, meskipun berdomisili di magnet kunjungan banyak orang seperti Candi Borobudur.

Setelah bertahun-tahun menekuni perjalanan hidup dengan liku-liku sebagai pelaku wisata Candi Borobudur, barulah kemudian 10 tahun terakhir ini Basiyo menemukan bahwa dirinya terlahir sebagai perajin.

"Baru 10 tahun terakhir saya menemukan diri bahwa roh hidup saya di kerajinan. Dan Candi Borobudur adalah jalan keuntungan hidup saya sebagai perajin," katanya.

Tiba-tiba, siang sebelum azan zuhur itu, telepon seluler Basiyo berdering. Ia pun segera merogoh telepon dari saku kanan celananya dan kemudian berbicara dengan penelepon.

"Ya bisa.... pembatas buku 200 biji. Saya kirim paket saja lewat Pos. `Njenengan` (Anda, red.) kasih alamat saja... Ya seperti itu, harganya Rp6.500. Untuk 10 Oktober... `Njih` (Ya, red.) seperti sampelnya... bisa bisa," demikian Basiyo saat berbicara kepada si penelepon yang ternyata memesan salah satu produk kerajinan berupa pembatas halaman buku.

(M029) Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © 2012

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com


View the original article here

0 komentar:

Posting Komentar