Pages

Kamis, 04 Oktober 2012

Mendesakkah KPK miliki penyidik sendiri?

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (ANTARA/Puspa Perwitasari)

Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mencari dan mendidik puluhan penyidik setelah Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia memutuskan menarik 20 penyidik mereka di KPK dengan dalih masa kerjanya "sudah berakhir".

"Penarikan penyidik itu menganggu kinerja KPK," kata Juru Bicara KPK Johan Budi mengomentari keputusan Mabes Polri menarik 20 penyidiknya dari KPK.

Keputusan Polri itu muncul setelah Irjen Pol Djoko Susilo ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi bagi motor dan mobil yang nilai proyeknya tidak kurang dari Rp198 miliar.

Kasus ini terjadi ketika Djoko  menjadi Kepala Korps Lalu Lintas Polri dengan Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo.

Selain kedua jenderal itu, beberapa perwira menengah Polri juga diperiksa dalam kasus ini.

Jika KPK sudah menetapkan Djoko Susilo dan Didik Purnomo sebagai tersangka, polisi malah baru menetapkan kedua perwira tingginya itu sebagai saksi.

Akibat kasus ini Kepala Polri Jenderal Polisi Timur Pradopo memberhentikan Djoko Susilo sebagai Gubernur Akademi Kepolisian setelah sebelumnya Djoko berstatus pimpinan nonaktif Akpol.

Lalu, ketika para penyidik KPK mendatangi kantor Korlantas di Jakarta, mereka sempat dihadang dan dilarang memasuki kantor itu.

Namun setelah Ketua KPK Abraham Samad "turun tangan" dengan berbicara kepada Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polisi Komisaris Jenderal Sutarman, barulah penyidik KPK bisa masuk dan menggeledah berbagai ruangan Korlantas dan kemudian membawa pergi banyak sekali dokumen terkait pengadan alat simulasi tersebut.

Dari anggaran Rp198 miliar itu, KPK menduga sekitar Rp100 miliar "dimakan" para petinggi Polri.

Selama ini Jenderal Djoko Susilo dikenal di kalangan polisi sebagai perwira tinggi berotak encer sehingga mampu menghasilkan berbagai ide perbaikan bagi program kerja Polri.

Keputusan KPK membongkar hingga tuntas kasus dugaan korupsi alat simulasi ini rupanya membuat pimpinan Polri tidak berkenan hatinya sehingga memutuskan menarik 20 penyidiknya dari KPK, padahal lembaga antikorupsi ini masih sangat membutuhkan mereka.

KPK lalu memutuskan mencari sendiri penyidik penyidik baru sebagai pengganti para polisi itu.

"Kami bisa melakukan perekrutan di luar polisi dan jaksa," kata Johan Budi.

Selain penyidik polisi, yang juga diperbantukan ke KPK adalah sejumlah jaksa dari Kejaksaan Agung.

Kurangi ketergantungan

Keputusan Ketua KPK Abraham Samad untuk mendidik sendiri penyidik KPK adalah langkah tepat dalam mengatasi kekurangan tenaga penyidik di lembaganya itu.

Mengapa demikian? Sekarang saja gara-gara keputusan Mabes Polri itu KPK sudah kekurangan tenaga yang sangat parah, apalagi kalau Kejaksaan Agung juga berbuat hal sama, padahal kasus korupsi yang harus diperiksa KPK sudah begitu menumpuk.

Belum lagi kasus korupsi yang harus diselidiki dan disidik lembaga antikorupsi ini semakin banyak saja dari hari ke hari.

Setiap hari masyarakat praktis disuguhi berita memprihatinkan terutama mengenai dugaan korupsi yang melibatkan anggota DPR, pejabat pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.

Rakyat sangat berharap KPK bisa menangani kasus- kasus korupsi itu hingga tuntas.

Pertanyaan demi pertanyaan dari benak jutaan orang Indonesia, apakah KPK dalam waktu yang sangat singkat ini mampu merekrut puluhan penyidik yang andal dengan "jam terbang" tinggi  sehingga bisa langsung bekerja tanpa dihambat oleh alasan apa pun?

Sejumlah polisi yang baru-baru ini mengundurkan diri karena "merasa tidak cocok" dengan atasannya sudah menyatakan minat dan niatnya bergabung dalam KPK.

Bila kabar itu benar adanya, tentu sangat menggembirakan karena KPK bisa "mengundang" mereka untuk segera mendaftarkan diri dan bergabung dengan KPK.

Jika polisi-polisi yang mundur dari instansinya itu bisa direkrut menjadi penyidik, maka KPK tidak lagi berlama-lama mendidik mereka mengingat mereka memang penyidik andal dan bisa dipercaya karena mereka memang aslinya penyidik polisi.

Masyarakat tentu berharap, mereka yang menjadi penyidik KPK bisa membuat kasus hakim ad hoc di pengadilan tindak pidana korupsi tidak terulang lagi.

Baru-baru ini seorang hakim wanita dan pria dikabarkan ditangkap karena  dicurigai bisa diajak "berunding" saat mengadili terdakwa kasus korupsi terutama "kelas kakap".

Sang hakim pria yang bertugas di Kalimantan ternyata bisa dengan "sesuka hatinya" terbang" ke Jawa hanya untuk "merundingkan" kasus korupsi yang ditangani pengadilan Tipikor.

Mengacu kepada kasus hakim ad hoc itu, kehadiran para penyidik baru KPK itu sangat didamba masyarakat agar lembaga ini bisa benar-benar bekerja profesional dan andal sekaligus tidak gampang tergoda setumpuk uang yang ditawarkan orang-orang bermasalah.

Jika akhrnya KPK penyidiknya sendiri, maka pimpinan Polri tentu tak akan berani lagi menggertak KPK dengan menarik penyidik mereka di KPK, karena stok penyidik KPK berlimpah.

Lain dari itu, rekrutmen penyidik oleh KPK bakal disambut hangat masyarakat karena mereka percaya penuh kepada KPK dalam memerangi korupsi.

Kasus penarikan 20 penyidik Polri dalam KPK itu seharusnya menjadi pelajaran sangat berharga bagi pimpinan Polri untuk tidak seenaknya membuat keputusan, apalagi keputusan itu diambil bertepatan dengan belitan kasus yang lagi ditangani KPK namun melibatkan orang-orang dalam Kepolisian.

(A011/A025) Editor: Jafar M Sidik

COPYRIGHT © 2012

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Membrane di bawah bulan purnama KapatBulan purnama lagi mejeng dengan sangat menornya di atas langit ladang penggaraman yang luas di selatan Sampang, ...

Resensi: pemaknaan dan sisi ringan wartawan berhaji Buku tentang perjalanan menunaikan ibadah haji sudah banyak ditulis. Salah satu yang fenomenal adalah yang ditulis ...

Klimaks Java Soulnation Festival musik Java Soulnation mencapai klimaks lewat penampilan deretan musisi pada hari terakhir pagelaran musik ...


View the original article here

0 komentar:

Posting Komentar